And I Met You

Paris King bertemu dengan laki-laki itu di tempat yang tidak pernah disangkanya. Dan sejak saat itu, segalanya berubah…

Genre Fluff, AU

Rating  PG-13

© 2023

© Image : Bloomberg


Dari sekian banyak orang di dunia ini, ia bertemu dengan laki-laki itu di tempat yang tidak pernah singgah dalam bayangan terliarnya. Di tempat yang penuh dengan lautan manusia asing.

Paris King bertemu dengan Lucas Hartmann di bandara… Dua bulan yang lalu…

Sekarang Paris duduk di bangku yang sama ketika ia bertemu dengan Lucas untuk pertama kalinya. Di bangku panjang berwarna hitam, di depan sebuah papan cokelat yang memutar iklan yang sama tanpa henti. Paris mengamati sekeliling, mengamati orang-orang yang berlalu lalang.

Paris tidak pernah secara khusus datang ke bandara hanya untuk mengamati sekitar. Dan hari ini juga bukanlah sebuah pengecualian. Paris datang ke bandara untuk menjemput seorang teman. Paris melirik jam tangannya yang berwarna hitam.

Masih pukul 3 sore. Dan tepat di saat itu, ponselnya menyala dan memperlihatkan pesan dari Kate.

“Aku sudah di dalam pesawat. Sampai jumpa dua jam dari sekarang.”

Paris mengangkat ponsel dan mengetik balasan. “Hati-hati dan sampai jumpa!”

Kemudian Paris menghela nafas. Apa yang harus dilakukannya selama dua jam di bandara? Paris bukannya sengaja datang sebelum Kate lepas landas. Tapi ia sudah terlanjur menuju ke bandara sebelum Kate memberi kabar kalau jadwal penerbangannya ditunda. Penerbangan domestik memang selalu seperti itu. Menunda jadwal penerbangan sesuka hati.

Paris mengembalikan pandangannya kepada orang-orang di sekitar. Selama beberapa menit, Paris mengamati mereka sampai akhirnya ia menghela nafas sekali lagi. Duduk di bangku ini sebenarnya sudah cukup membuat perasaannya tidak karuan. Tidak melakukan apapun membuat perasaan tidak nyaman itu semakin menggebu-gebu.

Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Ini adalah tempat terdekat dari pintu kedatangan. Ia harus duduk di sini supaya Kate dapat dengan mudah menemukannya. Selain itu, Paris juga memiliki alasan yang kuat untuk duduk tepat di bangku yang menjadi sumber dari segala kekalutannya. Pikirnya, akan lebih baik duduk tepat di bangku itu daripada memandanginya. Pasti semua kilasan balik peristiwa itu akan terus-terusan terputar di benaknya. Dan hatinya yang malang akan semakin gundah.

Paris menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Baiklah…

Kata orang, menghadapi perasaan sendiri bisa membuatmu merasa jauh lebih baik daripada melarikan diri dari perasaan itu. Jadi Paris menutup matanya dan berusaha menembus perasaannya. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Pada hatinya…

Hatinya sangat kacau hari ini. Atau lebih tepatnya sejak tiga hari yang lalu. Sejak Lucas menghilang. Paris tidak tahu dimana tepatnya keberadaan laki-laki itu atau apa yang sedang dilakukannya. Yang Paris tahu, Lucas pergi ke gurun di Washington bagian timur. Hanya itu informasi terakhir yang diterima Paris, sebelum laki-laki itu menghilang lalu tiba-tiba mengirimkan sebuah pertanyaan yang mencengangkan.

Sebuah pertanyaan yang tidak pernah disangka-sangka.

Laki-laki itu bertanya apakah ia boleh meminta Paris untuk menunggunya? Apakah ia boleh meminta Paris untuk menunggu meskipun ia tidak tahu kapan bisa mengunjungi Paris di Inggris?

Paris tertegun sedetik setelah pesan itu diterimanya kemarin, di tengah-tengah pekerjaan dan rapat yang tidak ada habisnya. Hari itu merupakan hari ketiga Lucas menghilang dan hanya membalas pesan dengan jawaban yang singkat sekali setiap malam.

Paris menyelesaikan rapat yang sedang dipimpinnya dalam keadaan setengah sadar. Sejak pesan itu diterimanya, benaknya hanya dapat memikirkan rangkaian jawaban yang akan ditujukannya untuk Lucas. Pernyataan “iya” yang dikemas dengan kalimat diplomatis tapi juga menunjukkan kerentanan.

Paris ingin menjelaskan bahwa meskipun mereka hanya bersama selama enam jam dan meskipun Lucas tidak bisa memberikan kepastian kapan laki-laki itu akan datang mengunjunginya supaya mereka bisa memiliki waktu untuk benar-benar mengenal satu sama lain secara nyata, Lucas boleh memintanya untuk menunggu.

Paris ingin Lucas memintanya untuk menunggu. Karena dengan begitu, Paris tahu kalau Lucas benar-benar menginginkannya. Lucas benar-benar serius terhadap apa yang diucapkannya. Terhadap hubungan yang berdiri di ambang sebuah jurang sejak pertama kali dimulai.

Perkenalan yang sangat singkat.

Setelah rapat itu selesai, Paris menghabiskan waktu sekitar dua jam untuk menuangkan kalimat yang dirangkainya di dalam benak ke sebuah pesan elektronik. Ia berharap pesan panjang yang menyentuh itu bisa membuat Lucas muncul kembali. Setidaknya memberikan sebuah tanda kalau laki-laki itu baik-baik saja di gurun.

Tapi tidak…

Tidak ada balasan sejak kemarin sore…

Dan hari ini bukanlah sebuah pengecualian. Lucas tetap menghilang.

Paris membuka matanya. Tidak berhasil. Metode bersahabat dengan perasaanmu sendiri tidak berhasil membuatnya lebih baik. Yang ada, perasaannya semakin buruk. Dadanya terasa sedikit sesak, seperti ada yang menghimpit.

Paris menggigit bibir. Perasaan ini bukanlah kesedihan. Karena ia pernah merasakan kesedihan yang sangat buruk. Kalau bukan kesedihan, lalu apa? Perasaan ini sama sekali tidak nyaman karena perasaan itu berhasil menguasai dirinya dan mengambil alih kebahagiaannya.

Paris merenung.

Hampa…

Mungkin kata itulah yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini.

Hampa…

Paris tidak dapat merasakan apapun.

Paris tidak tahu sejak kapan Lucas mengambil alih segala-galanya dan mengontrol perasannya. Pikirannya.

Mungkin…

Mungkin… Sejak pertemuan mereka di bangku ini dua bulan yang lalu…

∞∞∞

Paris sedang membongkar kopernya mencari sebuah jam tangan. Ia, dengan bodohnya meletakkan jam itu di koper, bukan di tas tangan. Meskipun kesalahannya cukup fatal, tapi Paris sangat yakin jam itu ada di koper bagasinya. Jadi setelah melaporkan penerbangannya dan memasukkan bagasi, Paris pergi ke sebuah bangku panjang berwarna hitam dan membongkar koper kabinnya.

Setelah lima belas menit mencari dan nyaris mengeluarkan seluruh isi koper ke sisi kiri dan kanan bangku, jam tangan itu masih belum dapat ditemukan. Paris menghela nafas sambil menutup muka.

Matilah dia! Ibunya akan membunuhnya. Jam itu adalah jam pemberian dari nenek. Alasan itu saja sudah membuat jam itu sangat berharga. Ditambah sekarang nenek mereka sudah tiada.

Apa yang harus dilakukannya sekarang?

“Sebenarnya apa yang kau cari?”

Sebuah suara berat membuatnya terlonjak. Paris yang sedang berdiri tepat di depan kopernya, mundur selangkah. Paris memutar kepala dan menatap tajam seorang laki-laki bermata biru muda ikut berdiri di sampingnya, memandangi koper dan barang-barangnya yang berserakan.

Tatapan tajam Paris tampaknya berhasil membuat laki-laki itu salah tingkah. Ia mengangkat tangannya dan menjelaskan dengan nada pelan, “Aku tidak bermaksud mengejutkanmu.”

Paris tersenyum tipis lalu kembali memberikan fokusnya pada kopernya. Paris sama sekali merasa tidak perlu membalas kalimat laki-laki itu. Ia kembali mengaduk kopernya yang sudah kosong. Entah apa tujuannya melakukan itu karena dua menit kemudian, ia mengerang.

Oh, terkutuklah dirinya!

“Aku bisa membantumu kalau kau mau. Aku sangat pandai dalam menemukan sesuatu.”

Suara berat itu berkata sekali lagi.

Paris menoleh. Kali ini laki-laki itu sudah tersennyum lebar, menunjukkan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi. Paris menyipitkan mata. Ia mulai merasa terganggu dengan keberadaan laki-laki asing ini. Namun sepertinya, laki-laki itu sama sekali tidak menyadari ketidaksukaannya.

Buktinya, laki-laki itu berkata lagi, “Penilaian itu bukan berasal dariku. Tapi dari ibuku.”

Alis Paris secara otomatis terangkat.

“Maksudku, aku dan kepandaianku dalam menemukan sesuatu berasal dari ibuku.”

Laki-laki itu tampaknya salah mengerti maksud Paris, membuat ia bertanya-tanya apakah raut wajahnya menujukkan kebingungan bukan risih? Sampai-sampai laki-laki itu menyangka Paris bingung dengan perkataannya.

Paris mendengus, ingin sekali mengusir laki-laki itu. Tapi ia masih memiliki tata krama. Jadi diputuskannya untuk menghiraukan laki-laki itu dan mulai mengaduk kopernya sekali lagi.

“Jadi apa yang sedang kau cari?” tanya laki-laki itu lagi. Ternyata masih belum menyerah.

Paris menghela nafas. Laki-laki ini benar-benar menjengkelkan dan dia pantang menyerah. Paris menatap laki-laki itu selama beberapa detik sampai akhirnya memutuskan untuk membiarkan laki-laki itu membantunya. Penilaian seorang Ibu biasanya tidak pernah salah. Jadi, “Aku mencari sebuah jam tangan.”

Sebuah senyuman mengembang di wajah laki-laki itu, membuat Paris bertanya-tanya, mengapa laki-laki itu menjadi sangat senang. Paris mengamati tangan laki-laki itu mulai bergerak mengitari kopernya dan mata biru muda itu berubah tajam. Tidak sampai dua menit, laki-laki itu mengangkat sebuah jam berwarna hitam. “Ini?” tanyanya.

Mata Paris terbelalak kaget. Ia langsung merampas jam tangan itu dan mengamatinya dengan seksama. Benar, itu adalah jam yang dicarinya. “Kamu menemukannya di mana?” tanya Paris dengan nada takjub.

“Di kompartemen sebelah kiri,“ jawab laki-laki itu ringan. “Ijinkan aku untuk memberikan sedikit tips. Kompartemen adalah tempat pertama yang harus kau cek ketika mencari benda kecil.”

Paris menjadi tertarik untuk bertanya. “Mengapa?”

“Karena manusia selalu memasukkan benda-benda kecil ke dalam kompartemen secara alamiah. Tujuannya agar lebih mudah ditemukan. Namun sayangnya, kenyataannya kebanyakan manusia melupakan hal itu karena pada awalnya keputusan meletakkan benda kecil ke dalam kompartemen dilakukan secara natural atau tanpa sadar.”

Paris menganalisa jawaban itu sejenak. Masuk akal. “Lalu?”

“Lalu?”

Paris memperhatikan dahi laki-laki itu yang berkerut. Di saat itulah ia baru menyadari, laki-laki itu memiliki rambut cokelat muda yang dipontong pendek sedahi. Potongan rambut yang tidak biasa. Kalau pria lain yang memiliki potongan rambut seperti itu, mungkin mereka akan terlihat aneh. Namun potongan rambut itu justru terlihat menarik karena menonjolkan kilatan biru muda dari mata laki-laki itu.

“Hei?”

Suara laki-laki itu menyadarkannya kembali.

“Oh, maksudku apakah ada tips lain yang kau ketahui?” jelas Paris.

“Kurasa aku punya beberapa tips.” Laki-laki itu berhenti sejenak. “Tapi karena jam tanganmu sudah ditemukan, kita sebaiknya merapikan dan menutup kopermu terlebih dahulu. Karena mulai banyak orang-orang yang memperhatikan dan beberapa diantaranya mungkin menyangka kau sedang dirampok.”

Paris tertawa. “Kau benar,” jawabnya lalu mengenakan jam tangan itu. Lalu melemparkan beberapa baju ke koper dengan asal dan cepat.

“Sini. Mari kubantu,” ujar laki-laki itu sambil bergeser lebih dekat supaya posisinya berdiri setengah dari bagian koper yang terbuka.

Kali ini, Paris tidak lagi merasa terganggu. Jadi ia bergeser sedikit ke kanan.

Berbeda dengan Paris yang menghamburkan apapun yang ada di depan matanya ke dalam koper. Laki-laki itu justru membantunya melipat baju dan meletakkannya di tempat yang masih kosong. Paris menilai laki-laki itu berusaha memberikan sedikit kesan rapi untuk koper itu. Dan tentu saja tidak berhasil dan tidak memberikan pengaruh apapun karena langsung tertimpa oleh barang-barang lain yang dilempar asal oleh Paris.

Selang tiga menit kemudian, Paris menyudai kekacauan itu dengan memasang resleting koper. Seperti sebuah harmoni yang tersinkronisasi, laki-laki itu mengangkat koper itu dan meletakkannya di lantai.

Paris tersenyum senang. “Terima kasih banyak atas bantuanmu.” Lalu ia teringat sesuatu. “Namaku Paris… Paris King.”

“Aku Lucas,” balas laki-laki itu sambil mengulurkan tangan. “Senang berkenalan denganmu.”

Paris menerima jabatan tangan itu dengan santai. Matanya tertancap pada mata biru muda milik Lucas.

Dan dari situlah semuanya dimulai.

Paris mulai mengenal Lucas lewat percakapan mereka di bangku hitam itu selama enam jam. Dan tepat di hari itu juga, Paris menyadari ia menyukai laki-laki itu.

Secepat itu…

∞∞∞

Dua bulan berlalu sejak perkenalan yang tiba-tiba dan indah itu.

Banyak hal yang terjadi selama dua bulan.

Sejak hari itu, Paris tidak pernah lagi bertemu secara langsung dengan Lucas karena laki-laki itu harus kembali ke kota asalnya, Washington.

Washington dan London mendadak terasa dekat berkat bantuan internet. Sejak hari itu Paris secara rutin berhubungan Lucas menggunakan kecanggihan internet.

Dan sejak hari itu pula, Paris merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakannya.

Perasaan berbunga-bunga, rasa takut yang tidak diketahui asal muasalnya, dan perasaan bahagia.

Sampai tibalah hari ini.

Perasaan hampa yang tidak mengenakkan itu menghampirinya.

Paris bukanlah seorang cenayang yang bisa meramal masa depan. Ia tidak tahu apa akhir dari cerita perkenalannya yang indah. Sama halnya dengan ia tidak tahu harus bersikap seperti apa agar perasaan hampa itu menghilang.

Yang Paris tahu sekarang, ia perlu berdoa dan meminta agar semuanya baik-baik saja.

Agar hatinya baik-baik saja.

Agar Lucas memperjuangkannya…

∞∞∞

Leave a comment