THE PALAIS

Ava King memiliki satu hal yang sangat diinginkannya di dunia ini. Namun satu hal itu justru adalah hal yang tidak bisa ia miliki, walaupun ia rela menukarkannya dengan semua yang ia miliki di dunia ini.

Genre Fluff, AU

Rating  PG-13

Disclaimer : This is not a fanfiction. So have your own imagination for the characters.

© 2021


Ada banyak hal di dunia ini yang ingin dilakukannya.

Ada banyak hal di dunia ini yang ingin dikatakannya.

Tapi ia memilih untuk tidak melakukannya dan tidak mengatakannya.

Mengapa?

Karena ia tidak bisa. Bukannya tidak mau, tapi tidak bisa. Bahkan satu hal sederhana seperti memilih baju yang akan dipakainya untuk acara siang ini, Ava King tidak bisa melakukannya.

Ava masih duduk di ranjangnya yang besar sambil memeluk lutut dan memandang ke sekeliling. Kamar luas yang bernuansa cokelat itu masih gelap gulita. Ava tidak tau pukul berapa sekarang. Mungkin saja ia sudah telat untuk pergi ke acara peresmian sekolah baru yang didirikan ayahnya. Tapi Ava tidak peduli. Atau lebih tepatnya, ia ingin tidak peduli.

Tapi tentu saja, Ava tidak bisa benar-benar tidak peduli. Karena ketika pintu terbuka dan dua orang wanita yang berseragam hitam putih masuk, Ava harus melakukan berbagai rentetan aktifitas yang sudah tersusun rapi. Dimulai dengan menghabiskan jus hijau yang tidak pernah disukainya dengan sekali tegukan, dilanjutkan dengan mengganti jubah tidur dengan gaun dan heels yang sudah ditentukan. Dan ketika make-up terpasang di wajahnya, itu artinya ia harus menyunggingkan seulas senyum di bibir dan bersiap untuk pergi.

Ketika berjalan keluar rumah, Ava melihat mobil hitam besar sudah terparkir dan pintu mobil terbuka lebar. Ava menghela nafas lalu masuk ke dalam mobil itu. Sepanjang perjalanan Ava membiarkan matanya mengitari kota Paris yang sudah 25 tahun dilihatnya. Dan ketika melihat The Petit Palais, tiba-tiba ia ingin berhenti dan mampir ke galeri itu.

“Tolong berhenti sebentar di sini,” ucapnya pada pria separuh baya yang berada di balik kemudi.

Pria itu tampak kebingungan. Tentu saja ia tidak boleh menurunkan Ava di sembarangan tempat dan galeri itu bukanlah sebuah pengecualian.

“Sebentar saja,” desak Ava. Kali ini dengan nada suara yang memelas.

Pria itu tidak bisa melakukan apapun selain menuruti Ava.

Saat mobil berhenti, Ava meloncat keluar dan mengambil langkah besar supaya masuk ke dalam galeri lebih cepat. Ava terlalu sering mengunjungi Palais, sampai ia bisa mengingat jalan menuju lukisan Jas de Buffan di luar kepala. Ava berjalan melewati lorong galeri yang berwarna putih gading dan melihat lukisan yang penuh dengan berbagai ragam warna dari kejauhan.

Lukisan yang dicari-carinya hanya berjarak dua meter lagi namun Ava menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Mendadak nafasnya tercekat melihat sosok laki-laki, yang sangat dikenalnya berdiri, di depan lukisan itu. Laki-laki itu memiliki postur tubuh yang tinggi dan berambut cokelat. Meskipun laki-laki itu memunggunginya, tapi Ava seolah-olah bisa melihat mata cokelat muda milik laki-laki itu sedang menekuri lukisan karya Cézanne yang terpajang di depannya.

Ava merasa kepalanya berkunang-kunang dan dunianya berputar selama beberapa detik. Jadi ia buru-buru melangkah mundur supaya kaki kanannya bisa menopang tubuhnya sebelum ia jatuh terduduk di lantai. Beberapa detik setelahnya, kesadarannya kembali pulih. Ava buru-buru memutar badan dan pergi.

Ia baru saja berjalan dua langkah ketika mendengar dentuman pantofel berjalan tepat di belakangnya. Ava secara otomatis mempercepat langkah. Tapi semakin ia mempercepat langkah, semakin cepat pula dentuman sepatu itu. Tanpa perlu melihat, Ava tau, laki-laki itu sedang mengikutinya. Ava berjalan sambil setengah berlari. Setengah berlari itu adalah kemampuan tercepatnya saat ini. Ia tidak tidak bisa berlari lebih cepat lagi kalau mau pulang tanpa cedera karena ia sedang menggunakan sepatu setinggi 12 centi.

“Ava King.”

Laki-laki itu menyebut namanya masih dengan cara yang sama. Dengan aksen Inggris yang sangat kental. Suara laki-laki itu sangat menenangkan, seolah-olah menyuruh Ava untuk tidak perlu mencemaskan apapun. Jantung Ava berdetak semakin kencang. Mendadak lorong galeri ini terasa sangat panjang.

“Ava King.”

Laki-laki itu memanggil namanya sekali lagi. Dan sepersekian detik kemudian, laki-laki itu menarik lengannya dan memaksa Ava berputar menghadapnya. Mata Ava yang abu-abu bertabrakan dengan mata cokelat laki-laki itu. Jantung Ava berdetak lebih kencang sampai membuatnya kesulitan bernafas.

Elijah Blunt.

“Ternyata benar. Kau adalah Ava King,” ucap Elijah. Suaranya terdengar senang.

Ava tidak menjawab. Ia mendadak lupa cara berbicara.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Elijah sambil menatap Ava dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Kau akan pergi ke suatu tempat? Kau terlihat sangat rapi untuk orang yang sedang berkunjung ke galeri.”

Tentu saja, gaun hitam selutut dengan bagian bahu yang terbuka ini terlihat sangat formal. Ava menelan ludah. Ketika tubuhnya sudah tidak lagi menegang, Ava menggerakan lengannya yang masih dicengkram Elijah.

Elijah tersadar. Ia buru-buru melepaskan tangannya dari lengan Ava. “Maaf.”

Ava menelan ludah sekali lagi. Ia harus mengatakan sesuatu. Jadi, “Aku harus pergi.” Setelah mengatakan itu, Ava berbalik, memutar badannya, bersiap untuk melarikan diri. Namun sebelum sempat beranjak, Elijah kembali menahan lengannya.

“Apakah kau tidak mau menanyakan kabarku sebelum kau pergi?” tanya Elijah pelan.

Ava bisa mendengar nada suara itu terdengar perih. Ava menunduk menatap ubin yang berbentuk lingkaran cokelat.

Elijah menunggu selama beberapa saat. Lalu menghela nafas, “Menurutmu, bukankah aku setidaknya berhak mendapatkan sebuah penjelasan?” Diam sejenak. “Aku mencarimu kemana-mana. Ke seluruh kota London. Aku tidak tau apa yang membawaku sampai ke Paris. Perasaanku menyuruhku pergi ke Paris karena kau sangat bersemangat ketika menceritakan lukisan Cézanne.” Elijah tersenyum tipis. “Dan ternyata benar. Aku tidak pernah menyangka kau tinggal di sini, di Paris. Tapi lucunya disinilah aku menemukanmu, di kota yang sama sekali tidak pernah kita bicarakan. Kota yang sangat asing bagiku.”

Ava memejamkan mata dan menggigit bibir. Sungguh, tolong biarkan saja ia pergi. Ava tidak tau berapa lama lagi ia bisa berdiri tegak sebelum dadanya terasa semakin sesak dan kepalanya kembali berkunang-kunang.

Selama beberapa saat, tidak ada yang bergerak dan tidak ada yang berbicara. Waktu seolah-olah berhenti berputar. Di dalam keheningan itu, Ava bisa merasakan Elijah bernafas dengan pelan dan berat.

Menit-menit pun berlalu. Ava tidak tau sudah berapa lama mereka bergeming seperti ini, sampai Elijah melepaskan cengkeramannya dari lengan Ava. Dan di saat itulah, Ava membuka matanya kembali.

Ava berusaha mengatur nafasnya. Ava berusaha bernafas, jadi ia membiarkan dirinya mematung selama beberapa detik, sebelum akhirnya melangkah pergi. Ava tidak mengatakan apapun dan tidak melihat ke belakang. Ia hanya berjalan lurus ke depan. Ia berjalan dan berjalan sampai akhirnya sampai ke depan galeri dan masuk ke mobil.

Ketika mobil melaju, barulah Ava bisa merasakan oksigen kembali masuk ke paru-parunya. Ava menyenderkan kepalanya dan menatap ke langit-langit mobil yang kelam, mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi.

Ava mencubit tangannya dengan keras dua kali sampai kulit tangannya memerah. Ternyata benar, Ava tidak sedang bermimpi. Laki-laki yang baru saja ditemuinya tadi benar-benar Elijah Blunt.

Ava mengangkat tangannya dan menutup mulut. Akhirnya doanya terjawab. Akhirnya ia bisa bertemu dengan Elijah lagi. Ava merindukan laki-laki itu. Ia selalu berdoa agar bisa bertemu dengan laki-laki itu sekali lagi, untuk mengucapkan selamat tinggal. Namun tadi saat bertemu dengan Elijah, justru ia melarikan diri. Lidahnya terasa kelu. Andai bisa memutar waktu, Ava sebenarnya tidak ingin pergi tadi. Namun sungguh ia tidak tau harus melakukan apa. Yang ia tau, ia harus melarikan diri sebelum benteng pertahanannya rubuh dan menangis. Seperti sekarang.

∞∞∞

Aula sekolah itu sudah terisi penuh. Ava melirik jam tangan yang ada di tangan kirinya. Ia tidak datang terlambat. Itu berarti tamu-tamu ayahnya sedang bersemangat menghadiri acara peresmian sekolah kali ini. Ayah Ava memang adalah seorang guru dan dosen seni yang terkenal di Paris. Jadi sebenarnya tamu yang ramai adalah satu hal yang wajar.

Tapi entah mengapa hari ini Ava merasa sangat risih berada di tengah-tengah keramaian. Mungkin dengan karena apa yang baru saja terjadi, Ava rasa ia butuh waktu untuk menyendiri. Ia harus menenangkan jiwa dan pikirannya yang masih setengah terguncang.

Ava memijat pelipisnya pelan. Atau mungkin ia hanya butuh minum, lalu semua akan baik-baik saja dan ia tidak perlu uring-uringan seperti ini lagi. Jadi Ava berjalan ke pinggir ruangan dan di sana ia bertemu dengan Mia yang sedang membawa nampan dan memakai baju seragam hitam putih. Mia, temannya itu yang sedang bekerja paruh waktu sebagai pelayan di acara hari ini.

“Hei, Ava,” sapa Mia. “Oh astaga, apa yang terjadi padamu? Kau terlihat seperti mayat hidup,” tanya Mia sambil mengulurkan gelas.

“Tidak, kurasa aku hanya kurang tidur,” jawab Ava sekilas sambil menerima gelas yang diulurkan Mia. Tentu saja, Ava berbohong. Ava dan Mia berteman sejak ia pindah ke Paris sekitar 6 bulan yang lalu. Mia adalah satu-satunya teman yang Ava punya di Paris. Namun Ava belum terlalu nyaman membagikan hal-hal yang terlalu personal dengan Mia. “Jadi apakah kau suka dengan pekerjaan ini?”

Mia mengangkat bahu. “Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari pekerjaan ini. Tapi aku menikmatinya karena bayarannya cukup besar, di atas rata-rata bayaran pekerjaan paruh waktuku yang lain.”

Ava mengangguk. Sebenarnya tidak heran melihat Mia yang bersemangat dengan upah karena Mia memang harus bekerja agar bisa menghidupi dirinya sendiri yang sedang mengambil sekolah fashion yang terkenal sangat mahal.

Tiba-tiba terdengar suara microphone diketuk dua kali. Ava melihat ayahnya sudah berdiri di depan panggung. Itu tandanya, ia harus berada di barisan paling depan dan memasang senyuman terbaiknya. Sebenarnya Ava masih tidak siap tapi bagaimanapun juga ia harus melakukannya. Jadi Ava meneguk minumannya sampai habis dengan sekali tegukan dan menaruh gelas itu kembali ke atas nampan yang dipegang Mia. “Baiklah, aku pergi dulu.”

Mia menepuk bahu Ava ringan. “Berikan senyuman terbaikmu, Ava,” ucapnya dengan semangat.

Ava tertawa kecil. Lalu berjalan di sela-sela kerumunan yang fokus mendengarkan pidato ayahnya dengan susah payah. Ketika berhasil, Ava bisa melihat mata ayahnya melotot tajam ke arahnya. Ava menghembuskan nafas. Lagi-lagi tatapan itu. Ayahnya tidak suka kalau Ava terlambat seperti ini. Menurut ayahnya, Ava seharusnya menjadi orang pertama yang berada di barisan terdepan untuk setiap acara yang diadakan oleh keluarga mereka.

Sebagai balasannya, Ava tersenyum manis mengacungkan jempol. Setelah itu barulah pelototan Ayahnya mereda. Ketika pria itu kembali terfokus pada tamu-tamu dan pidatonya, Ava menghela nafas lega. Selama kurang lebih lima belas menit, pidato itu selesai. Ayah turun dari panggung dan langsung menghampiri Ava.

“Apa kau mampir ke Palais lagi?” tanya Ayah.

Ava tidak langsung menjawab. Apakah ada jawaban yang bagus untuk pertanyaan itu? Bungkam mungkin adalah tindakan yang paling tepat untuk saat ini.

Ayahnya menarik nafas. “Apakah kau tidak bisa menurut satu kali saja?”

Mata Ava membesar. “Apa?”

“Jadilah anak perempuan yang penurut satu kali saja. Supaya aku tidak perlu mengkhawatirkanmu setiap saat,” ucap Ayahnya lalu pergi menyapa tamu-tamunya.

Ava meringis ketika menyadari kepalan tangannya sangat kuat sampai meninggalkan jejak di telapak tangan. Apa pria tua itu sudah gila? Selama ini, seumur hidupnya, ia selalu menuruti semua yang diminta Ayahnya. Termasuk keputusannya terhadap Elijah. Apakah itu tidak cukup?

Baiklah, Ava tau, ia tidak bisa berada di ruangan ini lagi. Ava mengambil langkah-langkah besar menuju taman belakang sekolah yang penuh dengan daun hijau. Ada bangku putih panjang di depan pohon bougenville. Ava cepat-cepat menghempaskan tubuhnya di sana. Matahari bersinar sangat terik di tengah musim panas ini dan Ava menggunakan baju hitam. Seharusnya ia merasa kepanasan, tapi anehnya Ava tidak dapat merasakan apapun selain hatinya yang membara.

 Ava memejamkan mata dengan kepala yang sedikit menengadah. Dadanya naik turun dengan pelan. Ava merasakan oksigen benar-benar masuk ke paru-parunya tanpa hambatan. Akhirnya di tempat yang hening ini, ia bisa bernafas normal kembali.

Selama beberapa saat, Ava menikmati sinar matahari yang menusuk pipinya yang putih. Sampai tiba-tiba ia tidak merasakan sinar itu lagi. Ava membuka matanya perlahan sambil menggerutu. Samar-samar, ia melihat seseorang berdiri dengan tangan terangkat. Ava masih belum bisa melihat wajah orang itu dengan jelas. Karena orang itu memakai jas, Ava cukup yakin kalau orang itu adalah seorang laki-laki.

Ava mengerjapkan matanya berkali-kali. Ketika ia bisa melihat dengan jelas kembali, mulut Ava menganga dan dahinya berkerut. Ia mulai bertanya-tanya, apakah amarah bisa membuat seseorang berhalusinasi? Karena ini sangat aneh. Sekarang Ava tiba-tiba melihat bayangan Elijah Blunt berdiri di hadapannya.

“Hidup ini sangat lucu.” Aksen Inggris meyakinkannya, membuat Ava tersadar. Ia tidak sedang berhalusinasi. Elijah Blunt memang sedang berdiri di depannya. “Tidak peduli sekuat apapun kau berlari, tapi takdir selalu membawamu kembali padaku.”

Oh, astaga.

∞∞∞

Ava sedang berada di London untuk menghadari peresmian sekolah yang dibangun Ayahnya. Ini adalah sekolah pertama yang didirikan Ayah di London. Harusnya Ava merasa senang, karena ia belum pernah ke London sebelumnya. Tapi entah mengapa hari ini ia uring-uringan. Hatinya merasa sangat gundah. Ia tidak ingin menghadari jadwal-jadwal yang sudah disusun oleh sekretaris ayahnya karena ia benci dengan semua hal yang menyangkut sekolah. Lebih tepatnya ia membenci beban yang dilimpahkan Ayah kepadanya. Beban itu mendadak harus dipikulnya semenjak ia lulus kuliah. Lulus kuliah lebih awal adalah penyesalan terbesar dalam hidupnya.

Sebagai satu-satunya pewaris tunggal sekolah private yang terdiri dari sekolah dasar hingga perkuliahan, bukanlah hal yang mudah. Segala tingkah lakunya diatur, termasuk apa yang dipakainya dan dengan siapa ia berteman. Ayah menuntutnya untuk selalu tampil anggun dan bertingkah laku layaknya seorang putri, di mana ia harus tersenyum dengan sopan tidak peduli bagaimana perasaannya saat itu. Karena menurut Ayah, seorang kepala sekolah harus mempunyai image yang anggun dan terpandang.

Ava bukannya tidak berterima kasih. Tidak.

Ia sangat berterima kasih atas apa yang ia punya sekarang. Hidup yang nyaman. Namun kalau bisa memilih, ia tidak menginginkan semua ini.

Ava menatap pantulan dirinya di kaca. Gaun hijau muda itu membuat tubuhnya terlihat sangat ramping. Hari ini, Jenna, penata rambut pribadinya, memutuskan untuk mengikat rambut pirangnya setengah dan setengah lagi dibiarkan menjulai di bahunya.

Ava menghela nafas. Lima menit lagi ia harus pergi dan tersenyum. Sungguh, ia tidak bisa tersenyum, setidaknya untuk saat ini. Sebenarnya tidak ada yang terjadi padanya hari ini, hanya saja ia tidak dalam mood yang bagus untuk melayani banyak orang. Ava memutar kepala, menatap sekeliling. Ia tidak berniat untuk melakukan apapun sampai matanya terarah ke jendela yang terbuka.

Ava berjalan menghampiri jendela itu. Udara musim gugur yang dingin menerpa wajahnya. Ava melonggokkan kepala, melihat ke bawah. Ternyata hotel ini tidak terlalu tinggi. Setidaknya, sekarang Ava berada di lantai 2. Ava menghela nafas sambil meletakkan tangannya di sudut jendela. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Pemandangan kamar ini langsung dihadapkan ke halaman belakang hotel yang berisi rumput hijau yang penuh dengan daun-daun yang sudah mengering. Langit tidak terlalu cerah namun tidak mendung. Agaknya matahari malu-malu menunjukkan diri.

Ava menghela nafas sekali lagi untuk menghirup udara segar. Pasti sangat menyenangkan kalau ia bisa berjalan-jalan, menikmati kota London.

Ava kemudian menyipitkan mata.

Jalan-jalan di kota London.

Tentu saja, ia bisa melakukannya. Ava menundukkan kepala, melihat jalan setapak yang kecil di bawah jendela kamar. Kalau ia jalan pelan-pelan dan bersender pada dinding, ia bisa sampai ke ujung bangunan hotel—kurang lebih lima kamar dari kamarnya sekarang—lalu ia berjalan sekitar dua langkah ke kiri untuk sampai ke sejenis tiang putih yang terbuat dari beton, yang bertulis “Selamat Datang di Taman Kami”. Ava mengetuk-ngetukkan jari, berpikir. Bagaimana cara ia bisa sampai ke rerumputan dengan menggunakan tiang itu?

Ava mengamati tiang dengan seksama. Tiang itu cukup lebar. Jadi ia bisa memeluknya dan merosot secara perlahan untuk sampai ke tanah. Ava tersenyum kecil. Ia terlalu putus asa sampai-sampai berkhayal yang tidak-tidak.

Ava menggelengkan kepala lalu memutar tubuh dan duduk di tepi ranjang, menunggu Jenna masuk dan berteriak kalau sudah waktunya pergi. Dan benar saja, dua menit kemudian, Jenna masuk. Namun ada yang tidak beres, wajahnya terlihat panik.

Ava berdiri dan bertanya, “Ada apa, Jenna?”

Jenna memegang dahinya dan meringis. Oh, Ava tidak salah lagi, ada sesuatu yang tidak beres.

“Ada apa, Jenna?” desaknya.

“Aku… Aku salah mengatur jadwal.”

Ava menahan nafas.

“Ternyata acaranya dimulai pukul 11, bukan pukul 12.” Suara Jenna terdengar sedikit bergetar.

Secara otomatis, Ava melirik jam tangannya. Sekarang pukul 11.17 siang.

“Apakah kau dalam masalah besar?”

Pandangan Ava kembali ke Jenna. Ava menghela nafas. Jenna benar, ia sedang dalam masalah besar. Tapi ia tidak ingin menambah kepanikan Jenna, jadi, “Tidak, kau tenang saja,” kata Ava sambil menepuk-nepuk bahu Jenna. “Apakah mobil sudah datang?”

Jenna mengigit bibir, tidak begitu yakin dengan perkataan Ava. Tapi ia tidak bisa melakukan apapun, jadi ia memutar tubuh, “Coba kulihat.”

Ava membiarkan Jenna berlari keluar untuk mengecek mobil. Dan di saat itulah, mata Ava tertancap pada jendela yang masih terbuka. Ia menatap jendela itu selama beberapa detik lalu  berlari dan mulai memanjat. Ava akhirnya meyakinkan diri untuk melakukan semua yang sudah direncanakannya. Ketika ia sampai di ujung tembok, ia bisa mendengar jeritan Jenna.

Ava menunduk, setengah iba dengan gadis itu. Tidak mengubris Jenna, Ava kemudian menunduk, melihat rumput hijau yang ada di bawahnya. Di saat itulah, Ava menyadari ternyata lantai 2 tidak serendah yang dibayangkannya. Jadi ia cepat-cepat melangkah menuju tiang. Ava menarik nafas panjang. Ini adalah bagian yang paling menakutkan dan memakai gaun sama sekali tidak membuat ini semua lebih mudah.

Ava memejamkan mata, meyakinkan diri sekali lagi. Kemudian ia melebarkan tangan dan memeluk tiang itu. Ia mengambil ancang-ancang dan merosot ke rumput sepelan mungkin. Perlahan-lahan ia bisa merasakan tangannya memanas. Semakin lama semakin panas, sampai akhirnya ia melepaskannya. Sedetik kemudian ia mendarat dengan keras ke tanah.

Belum sempat menjerit kesakitan, tiba-tiba Ava mendengar Jenna berteriak. “Oh astaga, Ava, apa yang kau lakukan?”

∞∞∞

Ava tersenyum tipis. Sangat tipis, sampai ia yakin Elijah tidak menyadari senyuman itu walaupun mata laki-laki itu tidak lepas dari wajahnya. Elijah masih sama seperti Elijah dulu yang  dikenalnya. Elijah sangat berhati-hati dengan wanita. Ava ingat bagaimana Elijah menjaganya dengan sepenuh hatinya satu tahun yang lalu. Dan sekarang bukanlah sebuah pengecualian.

Elijah duduk di sebelahnya dan mengangkat sebelah tangan, menutupi sinar matahari yang terik langsung menusuk kulit Ava. Dan wangi Elijah pun juga masih sama. Entah parfum apa yang dipakai Elijah selama ini, tapi Ava menyukai bau tembakau yang melekat di tubuh laki-laki itu dan Ava yakin, ia tidak akan pernah bisa melupakan itu.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Ava sedari tadi menunduk menatap rumput hijau yang terbentang di hadapannya. Tentu saja, ia tidak berani menatap Elijah.

“Ava?”

Ava menggigit bibir. Apa yang harus dilakukannya?

“Oke, baiklah.” Ava mendengar Elijah menghela nafas. “Kalau kau tidak mau berbicara, maka aku akan menceritakan apa yang kulakukan di sini. Karena aku yakin kau pasti penasaran.” Elijah berdeham.  “Setelah seminggu di Paris, aku mulai kehabisan uang. Hei, siapa yang tau biaya hidup di Paris ternyata sangat mahal. Kebetulan sekali, aku melihat École School membutuhkan pelayan tambahan untuk acara pelantikan sekolah. Jadi tanpa berpikir panjang, aku mengirimkan lamaran dan di sinilah aku sekarang.” Elijah menatap Ava sekilas. “Aku benar-benar bersyukur aku menemukan lowongan pekerjaan itu. Aku sama sekali tidak menyangka, ternyata itu membawaku bertemu denganmu.”

Mata Ava mulai terasa panas. Oh, Tuhan!

“Kau tidak tau betapa paniknya aku ketika tidak bisa menemukanmu di hotel tempat kau menginap di London dan aku tidak mengenal siapapun yang ada di sekitarmu. Di saat itulah, aku merasa bersalah, seharusnya aku bertanya. Seharusnya sebelum kau tiba-tiba menghilang, aku mencari tau. Satu-satunya kunci yang berhasil membawaku ke sini adalah spanduk besar bertulisan École School di lobi hotel. Tidak pernah terpikirkan olehku kalau aku akan menemukanmu ketika aku mengikuti kata kunci itu.”

Setiap kata-kata yang diucapkan Elijah terdengar perih dan sedih. Dan yang lebih parah lagi, laki-laki itu menyalahkan dirinya. Ava tau, hatinya sudah tidak dapat bertahan. Jadi Ava memutuskan untuk menoleh. Dan tepat di saat itu, matanya bertabrakan dengan mata cokelat Elijah.

“Oh, oh, tidak.” Elijah menempelkan kedua tangannya di pipi Ava. “Tolong jangan menangis.”

Air mata Ava justru mengalir semakin deras.

“Aku tidak marah.” Elijah menggerakan ibu jarinya untuk menghapus air mata Ava. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau tidak diculik atau semacamnya. Ketika melihatmu di sini, aku benar-benar lega.”

Ava menggigit bibir. Tolong berhentilah menangis.

“Sejujurnya, ketika kau melarikan diri lagi di museum itu, aku sedikit kesal.” Elijah tersenyum tipis. “Tapi setelah melihat Ayahmu, sekarang aku mengerti.” Elijah berhenti sejenak untuk menarik nafas. “Kita terlalu berbeda. Kau adalah pewaris tunggal dari konglomerat yang memiliki ratusan sekolah di Perancis dan Inggris, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan restoran.”

“Tidak,” potong Ava cepat. Suaranya terdengar serak. Kita sama sekali tidak berbeda.

Alis Elijah terangkat. Beberapa detik kemudian, raut wajahnya kembali normal. Elijah tersenyum lagi. Pedih.

“Tapi, Ava King, percayalah padaku ketika kukatakan kalau aku tidak menyesal. Aku senang bisa mengenalmu walaupun hanya sebentar. Aku tidak menyesal karena mencintaimu. Terima kasih atas musim dingin yang menyenangkan.” Elijah menarik nafas panjang. “Sepertinya sekarang, aku sudah bisa kembali ke London dengan hati yang tenang.”

Ava pernah mendengar kalimat itu. Ava pernah mendengar Elijah berkata ia mencintainya. Dulu kalimat itu membawanya terbang, sedangkan sekarang kalimat itu berubah menjadi pisau yang menyayat hatinya.

“Kau akan kembali ke London?” tanya Ava dengan susah payah.

“Ya, aku sudah menemukanmu.”

Ava menelan ludah. Apa yang harus dikatakannya sekarang?

“Aku punya sesuatu untukmu,” kata Elijah lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dan mengulurkannya kepada Ava.

Ava menerima kotak itu. Tidak perlu dibuka, Ava tau isi kotak itu.

Makaroni berwarna merah muda.

“Setiap kali melihat makaroni, aku selalu teringat padamu. Jadi aku selalu membawa ini kemana pun aku pergi dan berdoa agar aku bisa menemukanmu. Dan sekarang doaku sudah terkabul, maka aku sudah tidak punya hak untuk menyimpan makaroni itu lagi.”

Ava menatap Elijah. Matanya yang sudah mengering, sekarang menjadi basah kembali. Elijah diam dan melemparkan pandangan ke rumput hijau di depan mereka. Ava tau, Elijah sedang mempertimbangkan sesuatu.

Tiba-tiba, Ava merasakan panas di kedua lengannya. Hidungnya mencium bau kayu bermagot milik Elijah tepat di sebelahnya. Elijah memeluknya. Jantung Ava berdetak dua kali lebih cepat. Ava berusaha untuk bernafas senormal mungkin. Ia memerintahkan otaknya untuk berfungsi. Tapi tidak bisa, Ava tidak bisa bernafas.

Sampai akhirnya ia menyerah. Ia menyerah untuk melawan. Ava ingin tau apa yang terjadi kalau ia tidak melakukan apapun. Jadi Ava menopangkan dagunya di bahu Elijah. Di sana, ia memejamkan mata. Nyaman. Ava menyukai ini semua. Ava menyukai pelukan ini. Ava menyukai Elijah.

Apakah ia boleh egois dan memohon agar waktu berhenti? Ia akan memberikan semua yang dimilikinya dan menukarnya agar bisa selalu berada di samping Elijah. Namun Ava tau, ia tidak akan bisa.

Air matanya kemudian mengalir. Semakin lama semakin deras sampai Ava terisak.

Elijah memindahkan sebelah tangannya ke kepala Ava dan mengelusnya dengan pelan. “Kau adalah wanita yang kuat. Aku tau itu sejak pertama kali aku bertemu denganmu. Jadi teruslah menjadi wanita yang seperti itu agar suatu hari nanti kalau aku rindu padamu, aku hanya perlu menatap ke papan iklan dan aku bisa menemukanmu di sana. Aku tau, kau akan menjadi penerus yang hebat.”

Ava mengangguk.

“Terima kasih untuk semuanya, Ava King.” Elijah berbisik pelan lalu menarik tubuhnya dan berjalan pergi.

Ava tidak bisa mengatakan apapun. Ia tidak bisa berteriak untuk menahan Elijah agar tidak pergi. Ia tidak sudah tidak punya kekuatan. Jadi Ava hanya melihat Elijah berjalan semakin menjauh. Setelah bayangan laki-laki itu menghilang di balik pintu, Ava mengangkat sebelah tangan dan menepuk dadanya berkali-kali dengan keras.

Ava pikir, kalau ia menyakiti tubuhnya dari luar, mungkin rasa sakit di dalam hatinya akan berkurang. Tapi tidak, hatinya tetap saja seperti ditusuk ratusan pisau tidak peduli seberapa kuat ia menghujam dadanya dari luar.

Lelah. Akhirnya Ava berhenti. Ia menengadahkan kepalanya dan menatap langit yang biru. Ia kemudian memejamkan matanya dan berdoa.

Suatu hari nanti, kalau kau terlahir kembali, berjanjilah padaku…

Kau tidak akan mengulang kesalahan sama seperti yang sedang kulakukan sekarang.

Berjanjilah bahwa kau akan berjuang.

Kau akan berusaha untuk mendapatkan semua yang kau inginkan di dunia ini.

Cita-citamu…

Suaramu…

Pendapatmu…

 

Berjanjilah padaku bahwa kau akan mengukir sendiri kisah hidupmu.

Termasuk kisah cintamu.

Suatu hari nanti, kau akan memperjuangkan laki-laki yang membuat jantungmu berdebar-debar. Untuk hal ini, kau bisa percaya padaku bahwa laki-laki seperti itu layak untuk diperjuangkan.

 Ava menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

Ketika ia membuka matanya, pandangannya buram kembali. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Heran, apakah air mata tidak bisa mengering. Ia lelah. Sungguh, ia ingin berhenti menangis. Tangisan ini sangat melelahkan dan dadanya terasa sesak setiap butiran kristal itu jatuh. Ava mulai kehabisan oksigen.

Ava tidak berlebihan ketika ia merasa dunianya berputar dan perlahan-lahan pandangannya meredup. Satu kalimat yang ia gumamkan pada dirinya sendiri sebelum ia tidak bisa melihat apapun dan tidak sadarkan diri.

Dear Me…

Jika hari itu datang berjanjilah padaku, kau akan memperjuangkan hak istimewa itu dengan seluruh kekuatanmu.

Dengan seluruh tenagamu, agar kau bisa menjalani hidup dengan layak.

∞∞∞

Elijah baru saja menyelesaikan shift siangnya ketika ia melihat seorang perempuan bergaun hijau melonggokkan kepalanya ke etalase tempat Mrs. Dawson memajang kue-kue dijual. Pandangan gadis itu hanya terarah pada satu titik, makaron yang berwarna merah muda. Gadis itu menatap makaron itu selama beberapa menit sambil menelan ludah. Dahi Elijah berkerut. Penampilan gadis itu sama sekali tidak terlihat seperti orang yang tidak mampu membeli makaron. Tapi mengapa gadis itu tidak langsung saja ke kasir dan membelinya?

Elijah memperhatikan gadis itu selama beberapa menit berikutnya. Gadis itu menelan ludah untuk yang kesekian kalinya lalu tertunduk lesu. Gadis itu menghela nafas lalu berjalan pergi dengan langkah yang sedikit pincang. Mata Elijah menelusuri kaki gadis itu dan barulah ia sadar, salah satu sepatu hak tinggi gadis itu patah.

Elijah tersenyum tipis. Ia mengambil tiga makaroni merah muda dan meletakkannya di dalam kotak cokelat. Lalu ia meninggalkan beberapa lembar uang di kasir, karena Troy, temannya yang seharusnya berjaga di kasir sedang membersihkan meja pelanggan. Elijah kemudian berlari keluar toko, namun gadis itu hilang ditelan kerumunan orang yang berlalu-lalang di pinggir jalan utama di kota London.

Elijah memanjangkan kepalanya, masih berusaha mencari-cari gadis itu. Tubuhnya yang tinggi tampak memudahkan segalanya. Mata Elijah menangkap seorang gadis yang berjalan pelan dan pincang. Senyum Elijah mengembang. Ia memiringkan tubuhnya untuk menyalip beberapa orang. Ketika ia tepat berada di belakang gadis itu, tanpa berpikir ia menepuk pundak gadis itu pelan.

Tentu saja, gadis itu berbalik dan tersikap. Mata abu-abu itu menatap Elijah dengan tatapan takut. Namun Elijah terpana. Mata itu begitu indah seolah-olah bisa meluluhkan hati dan pikirannya. Elijah berdeham pelan untuk menutupi debar jantungnya, lalu, “Ini untukmu.”

Tatapan takut itu berubah menjadi tatapan yang berbinar-binar. Gadis itu menerima kotak itu dengan senyuman lebar yang tersungging sempurna. “Terima kasih.”

Sejak saat itulah, Elijah tau, ia rela melakukan apapun untuk melihat senyuman dan tatapan itu lagi.

Dan di hari itu juga, Elijah tau, ia sudah jatuh cinta pada Ava King.

∞THE END∞

 

Leave a comment